sinema

Membedakan Sensasi Dari Yang Sensasional

27 January, 2020

Tulisan berikut adalah premis, atau lebih tepatnya landasan teori yang kami pakai sebagai kerangka kerja TVC Benadril yang disutradarai oleh Bona Palma dan dibintangi oleh Joe Taslim, TVC yang sebagian besar scenenya menggambarkan perkelahian, namun sesuai ketentuan dari BPOM, dilarang menampilkan kesan kekerasan dalam penggambaran scene perkelahian, disinilah keseruaannya. https://www.facebook.com/mannainc.redroom/

Sebuah teori dari pandangan Gilles Deleuze, yang mempersoalkan perbedaan antara “sensasi” dengan “sensasional”, lebih tepatnya mengenai teori “Logika sensasi”. Menurut Delluze, apa yang disebut sensasi atau kesan-kesan (persepsi, perasaaan, kenangan dsb), terdapat dalam dunia itu sendiri, dunia dimana subjek manusia sebagai pengamat dunia. Sensasi-sensasi itu hadir dalam dunia pra-individual, yakni dunia sebelum diberi predikat, indek moral ataupun psikologis secara otomatis oleh manusia. Sebuah entitas yang terdiri dari kumpulan hal-hal yang singular (asembling).

Contoh; Asembling dari hal-hal yang singular

Sebuah cangkir berisi kopi terletak diatas meja, saat sebuah tangangan mengambil cangkir, tiba-tiba seekor lalat hinggap di bibir cangkir.

Kejadian tersebut merupakan kemenjadian, suatu entitas tersendiri, suatu dunia pra-individuasi, suatu kenyataan sebelum dipilah-pilah oleh kerangka atomistik manusia, persis seperti cara-pandang orang yang mengidap skizofrenia. Sedangkan apa yang sensasional selalu berkenaan dengan ekspresi psikologis dan yang psikologis selalu bertautan erat dengan subjek individu. Inilah perbedaan antara sensasi dan sensasional.

Ada dua komponen penyusun sensasi pra-individual, yakni persep dan afek. Persep bukanlah persepsi, melainkan sejenis persepsi tanpa orang mempersepsi. Afek bukanlah afeksi, melainkan sejenis afeksi tanpa orang merasakannya. Keduanya merujuk pada cara kenyataan mempersepsikan dan merasakan dirinya sendiri. Kedua hal itulah yang disimpan dalam karya seni sebagai “bongkahan sensasi”.

(“what is preserved-the thing or the work of arts- is a bloc of sensations, that is to say, a compuond of percepts and affects. Percepts are no longer perceptions; they are independent of state of those who experience them. Affects, are no longer feelings or affections; they go beyond the strenght of those who undergo them. Sensatio, percepts, and affects are beings whose validity lies in themselves and exceeds any lived. The work of art is a being of sensation and nothing else: it exists in itself.” (Delleuze 1994: 164)

Dalam kontek sinematografi, kita sering melihat persoalan utama yang sering dihadapi oleh seorang sinematografer, bagaimana ia membebaskan diri dari konsepsi representasional dalam karya sinematografinya, singkatnya, membebaskan diri dari sinematografi figuratif yang selalu predictable. Tugas pokok seorang cinematographer ialah “ mengekstraks ‘Sosok’ dari yang figuratif”. Apa yang dimaksud “sosok”, bukanlah objek hasil representasi kenyataan, melainkan pengelompokan sensasi.

(“ between a color, a taste, a thouch, a smell, a noise, a weight, there would be an existential communication that would constitute the “pathic” (nonrepresentative) moment of the sensation.”) (Delluze 2003: 42)

Sensasi dalam seni apapun bukanlah masalah perasaan; begitu juga sensasi sinematografi bukan soal mengekspresikan perasaan bathin. Sensasi sinematografi adalah menangkap kesan yang selama ini terabaikan karena terlanjur ditafsirkan dalam kerangka atomistik individuasi. Sinematografi figuratif gagal menangkap kesan semacam itu dan malah terjebak dalam representasi kesan yang dibaca atomistik, yaitu sinematografi yang sudah terbebani tafsir moral dan psikologis.

Sesuatu seni yang figuratif selalu mempunyai jalan langsung menuju otak tanpa melewati sistem saraf. Seni figuratif tidak akan mencapai sensasi.

“In this regard, the same critism can be made against both figurative painting and abstract painting: they pass through the brain, they do not act directly upon the nervous system, they do not attain the sensation, they do not liberate the figure-all because they rimain at one and the same level.” (Deleuze 2003:36)

Hubungan antara teori diatas dengan TVC, Benadril, adalah, pemahaman teori logika sensasi tersebut menjadi predikat dalam konsep teknik pengambilan gambar.

Untuk mengakomondir scene perkelahian tanpa menimbulkan kesan kekerasan, sesuai ketentuan BPOM, kita mengkategorikan “perkelahian” adalah esensi scene yang kita inginkan, sedangkan kesan “kekerasan” adalah dampak dari perkelahian. Jika scene perkelahian adalah sensasinya maka kekerasan adalah kesan sensasionalnya, dengan begitu kita harus mengekstrak “sosok” (kumpulan sensasi perkelahian) dari yang sensasional.

  1. Type of shot adegan perkelahian selalu Two Shot; Joe Taslim dan lawannya, merupakan “sosok” entitas tersendiri apa yang kita harapkan dalam ”adegan” semacam ini adalah kemenjadian (be-coming), singular atau satu esembling. “Sosok” yang dimaksud dalam terminologi ini bukanlah objek hasil representasi kenyataan, melainkan pengelompokan sensasi.
  2. Menghindari shot POV, atau hand-held shot, sebab shot semacam ini memuat subjektivitas dan yang subjek selalu bertautan erat dengan yang psikologis dan yang psikologis cenderung memberikan kesan sensasional.
  3. Menghindari type of shot Close-Up, alih-alih sebagai penekanan pada salah satu tokoh yang menyerang atau yang diserang. Karena type of shot yang demikian cenderung menampilkan citra afeksi yang menampilkan bentuk visual perasaan.

Secara garis besar, dalam pengadeganan scene perkelahian ini hanya memuat 4 angle.

Screen Shot 2017-06-05 at 8.23.17 PM

Fungsi sinematografi dalam terminologi sensasi adalah menghadirkan kembali dunia yang belum terpsikologiskan oleh manusia, dunia sebelum dirasakan secara individual, dunia yang mengalami dirinya secara langsung tanpa perantara manusia, dalam ranah filsafat estetika disebut “realisme kodrati”.

Jika kita dapat mengekstrak sosok dari yang sensasional maka hasilnya adalah seyum yang terus terkembang selama enam abad (Mona-Lisa).

Selesai

Sumber :

  1. Barbara M. Kennedy; Deluze and Cinema: The Aesthetics of Sensation; Edinburg University Press; 2000.
  2. Gilles Deleuze; Difference Representation; Columbia University Press 1994. (translator: Paul R. Patton)
  3. Martin Suryajaya; Sejarah Estetika : Era Klasik Sampai Kontemporer; Gang Kabel;Jakarta Barat 2016.

Artikel sebelumnya

Artikel berikutnya

Mengkristal Secara Aktual

comments powered by Disqus