opini

Nalar Kritis Rasional Negatif

27 January, 2020

PENGANTAR

Bangkitnya gelombang ekonomi kreatif dipengaruhi oleh dampak dari gelombang ekonomi sebelumnya yaitu gelombang ekonomi informasi yang biasa disebut sebagai gelombang ekonomi ke tiga yang mempunyai dampak berkelanjutan yang begitu deras dan cepat membawa begitu banyaknya informasi pengetahuan, keilmuan dan lain-lain dalam waktu relatif singkat.

Keadaan ini mempengaruhi pola kehidupan sosial masyarakat yang menuntut untuk bergerak dan berpindah dengan begitu cepat pula. Sehingga kita hanya dapat berhenti sebentar pada satu pengetahuan dan kemudian segera berpindah ke pengetahuan berikutnya. Kita tidak pernah berhenti pada waktu yang lama dan mendalami pengetahuan untuk menemukan intisari sebuah ilmu secara mengakar ke dalam (radical extreme). Kita hanya sebatas singgah pada permukaan keilmuan yang dangkal yaitu pengetahuan. Dikarnakan sifat diskriptif pengetahuan memang sebatas ilmu dangkal yang terpenggal-penggal.

Pada akhirnya, tanpa disadari perilaku sosial kita hanya berorientasi pada apa saja yang ada di permukaan karena kita hanya mengenal permukaan, dan hanya terfokus pada apa yang disebut lapisan luar. Selanjutnya kita sibuk memelihara dan memoles permukaan. Sebuah permukaan yang membentuk citra dan pencitraan. Pola kehidupan sosial yang hanya bermodal pencitraan ini tumbuh dengan subur di era postmodern yang mengarah pada perilaku “anything can goes”. Sebuah era di mana batasan-batasan mulai kabur dan hilang, yang mengerti dan yang tidak mengerti seolah-olah sudah tidak ada perbedaannya, yang benar dan yang salah sudah berbaur menjadi satu, kadang yang salahpun dapat dibungkus sedemikian menarik dan disajikan sebagai sebuah kebenaran.

Segala sesuatunya tidak lagi memiliki fondasi pijakan tempat kita berdiri dan bertumpu, segala sesuatunya melayang mengambang mengalir mengikut arus relasi pertemanan dan persaudaraan. Situasi diatas adalah gambaran umum industri film di Indonesia, dominasi sumber daya manusia dalam industri film di Indonesia diisi oleh individu dengan identitas “dibawa oleh siapa” bukan “membawa kemampuan apa”.

Tidak ada satupun institusi yang menjadi tempat rujukan standart kwalitas sumberdaya pekerja film. Situasi yang demikian telah-sedang dan akan terus berlangsung dalam gerak Inersia industri film di Indonesia yang dilandasi oleh azas pertemanan semata-mata bukan pada gerak kinetik nalar rasional yg bertumpu pada ilmu pengetahuan ilmiah.

Kemudian dapat dipastikan industri film Indonesia memasuki ruang kosong pemahaman, sebuah ruang industri film yang di dalamnya tumbuh subur aktifitas pendangkalan sensitifitas intelektual, dengan cara-cara kompromi dan toleransi banal yang cenderung mengetengahkan praktik-praktik dangkal keteraturan, dangkal perhitungan, dangkal ukuran, dangkal jaminan pada hasil. Film dianggapnya sebuah medan gelap yang bebas dijalani dengan hanya bermodal insting, asumsi, persepsi dan emosi spontan.

Film sebagai seni diceraikan dari diskriptif keilmuannya. Maka yang terjadi adalah; industri film sedang berproses, berkembang dan bertumbuh ke arah yang paradoksal; pertumbuhan sekaligus penghancuran diri sendiri (self destruction), situasi ini terbentuk disebabkan tidak adanya struktur keilmuan yang membangun dunia industri film.

FILM SEBAGAI ILMU

Institut Kesenia Jakarta Fakultas Film & Televisi, sudah 44 tahun menyelenggarakan pendidikan film-sinema dengan berbagai kekhususannya telah meluluskan sekitar 1000 lebih mahasiswa yang mengisi industri film dan televisi di Indonesia. Jika aktivitas ilmiah sebagai roh yang menghidupi institut, dalam kurun waktu yang bijak selayaknya Fakultas Film & Televisi -IKJ-LPKJ sudah menjadi pusaran berbagai ilmu pengetahuan yang bersinggungan dengan film-sinema.

Fakultas Film & Televisi-IKJ-LPKJ selayaknya mempunyai pengaruh besar dan makna penting dalam pemikiran ataupun dalam gejolak industri film-sinema, sehingga dapat menimbulkan keterikatan emosional, ilmiah, dan ideologi secara mendalam, setidaknya dalam perkembangan film-sinema di Indonesia. Fakultas Film & Televisi IKJ-LPKJ seharusnya dapat memberikan panorama tersendiri bagi ilmu pengetahuan film-sinema dengan memperkaya gagasan-gagasan kritis dan filosofis terhadap fenomena sosial, politik, ekonomi, pemerintahan, agama dan ideologi lewat berbagai cabang ilmu pengetahuan lainnya.

Peran intelektual Fakultas Film & Televisi IKJ-LPKJ selama ini hanya berkutat diatas langit idealisme, terkurung pada sebuah gedung berbaju kurung, terbentuk dalam rezim status quo yang lebih mengutamakan esensi illusi daripada eksistensinya, padahal berbagai persoalan film-sinema didalam perjalanan jamannya sedang terjadi, persoalan ilmu pengetahuan film-sinema dan carut-marut regulasi industri dan persoalan perfilman dalam kontek budaya global bergentayangan terbentang di depan mata dan dibiarkan berlalu menjadi momok sepanjang waktu.

Refleksi intelektual Fakultas Film & Televisi IKJ-LPKJ masih memakai pola yang mengambil jarak dengan persoalan film-sinema dalam tataran realiatas industrinya. Kekurangmendaratnya refleksi intelektual menyebabkan terputusnya jembatan penghubung terhadap tujuan ideal (institut) dan tujuan dinamis (industri) sebagai modal tumbuh dan berkembangnya film-sinema yang sehat dan kuat dalam menghadapi tantangan global.

Dengan modalitas intelektual yang ideal dan dinamis dalam pertumbuhan film-sinema di Indonesia, kita tidak hanya dapat menuju ketahanan budaya saja tapi dapat melampauinya menuju aktivitas penetrasi budaya pada masyarakat-bangsa ekonomi global, yang nantinya dapat digunakan sebagai ujung tombak penetrasi ekonomi, politik, sosio-kultur, ideologi dan lainya.

Namun patut disayangkan, terdengar wacana Direktorat pendidikan perguruan tinggi republik ini untuk mengganti nama Fakultas film & Televisi IKJ-LPKJ menjadi Fakultas Media Rekam, sebuah wacana yang sarat dengan semangat kemunduran, premis logisnya adalah pendidikan film-sinema bukanlah pendidikan mengenai ilmu media rekam. Istilah media rekam mengandung kesan kata kerja-sekedar merekam saja, sebuah pelebelan yang mempunyai dampak melemahkan esensi pendidikan film-sinema. Fakultas Media Rekam mengandung kesan pasif kesadaran dan pikiran. Akan ada berbagai unsur yang bakal terabaikan oleh sistem pendidikan yang bernama Fakultas Media Rekam.

Industri film-sinema masadepan membutuhkan lulusan yang mempunyai kemampuan penalaran secara ilmiah, kehendak nalar kritis, intuisi dan fantasi. Industri film dengan sinemanya membutuhkan lulusan sekolah film yang mempunyai kemampuan teknik imajiner, suatu teknik deproblematisasi yang memiliki konsepsi sinematik yang kadang merupakan kebalikan dari prosedur pengetahuan, tapi mempunyai potensi membuat terobosan yang otentik ilmiah.

Ilmu pengetahuan film-sinema adalah material pendidikan yang mempunyai potensi sebagai nalar kritis yang menelesik jauh, bagaimana cara kerja karya film dibuat dan bagaimana karya film berdampak pada peradapan manusia.

Dalam ikhtiar pendidikan ilmu pengetahuan film, yang didalamnya termasuk dalam kategori kelompok ilmu ideografis (pengungkapan makna) terdapat pertemuan antara seni dan pengetahuan maka pola evaluasi pendidikan selayaknya cenderung pada penekanan metode kualitatif, yaitu suatu metode yang mengutamakan pengembangan potensi individu dan potensi materi ilmu pengetahuannya. Pendidikan yang baik bukanlah yang membenahi individu dengan sebanyak mungkin bahan-bahan yang baru, melainkan yang bisa merangsang perkembangan potensi individu dan potensi yang tersimpan pada ilmu pengetahuan film dengan irisan-irisan material ilmu lainnya.

A.F. Chalmers dalam bukunya, “What is this thing called science”; mengatakan: “Kita bertolak dengan kekaburan dan mengakhirinya dengan kekaburan pula tetapi pada taraf yang lebih tinggi”. Wacana diatas mengisyaratkan bahwa tidak ada hakekat kebenaran dalam sebuah ilmu.

Maka kita boleh mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tidaklah terdiri dari kalimat-kalimat yang pasti. Ilmu pengetahuan tidak pernah secara pasti mencapai kebenaran – seperti apa yang dicita-citakan Plato dengan episteme-nya pengatahuan rasional yang pasti dan abadi.

Ilmu pengetahuan tidak ingin memberikan jawaban akhir yang pasti, sebaliknya ia berkembang pasti dengan membuka kemungkinan untuk salah, melalui tugas yang tak berakhir dan mungkin yang tak akan terpecahkan. Karena ilmu hanya bisa memberikan jawaban sementara yang harus diuji secara baru dan kuat. lmu pengetahuan tidak berkembang ke tujuan-tujuan tertentu yang sempit.

Pengujian suatu hipotesis selalu terjadi dalam waktu, sementara kebenaran itu tidak terkait dengan waktu, Gagasan kebenaran dalam sebuah teori tidak berkaitan langsung terhadap klaim kebenaran. karena kebenaran-kebenaran ternyata selalu berhadapan dengan sebuah tantangan baru.

Menilik sifat sejarahnya, ilmu pengetahuan film seringkali tidak menjadi suatu ilmu kecuali dengan jalan memutar melalui berbagai irisan ilmu yang lainnya, bukan saja melewati ilmu yang sudah di baptiskan namun juga merangsang sejumlah ilmu pendatang baru yang terlambat hadir dan membutuhkan waktu sebelum terlahir.

Teori film dapat disebut sebagai ilmu (meskipun teori film bukanlah teori tunggal, namun terdiri dari pluralisme teori) karena ia adalah ilmu dari objek yang disting, suatu ilmu dengan struktur yang ada pada segenap ilmu, memiliki teori dan teknik (metode) yang memungkinkan pengetahuan dan transformasi atas objeknya dalam suatu praktik tertentu. Seperti dalam ilmu yang dibangun secara otentik, teori film bersifat subordinat yang proses di dalamnya terjadi transformasi, teori berevolusi menjadi metode (teknik film produksi), kemudian bersimbiosis menjadi kontak teoritis (film/cinema sebagai ilmu pengetahuan) dan berubah menjadi kontak praktis (cinema) dengan berbagai efek ideologis dan dampak seni (budaya).

Fakta-fakta empiris dalam penerapan praktik film membuktikan bahwa teori film dapat disebut ilmu, disebabkan tidak satupun kontak praktik (cinema) maupun kontak teoritis (film science), metodenya (film production) yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu film lewat suatu pendelegasian yang berasal dari teori film itu sendiri bukan bermuasal dari praktik lainnya. Maka teori film, teknik pembuatan film, metode analisis dan praktis (cinema) struktur totalnya bersandar pada makna diskriptif ilmiah sehingga ia pantas disebut ilmu (science). Yang mencirikan setiap ilmu (science) adalah objek formal dan objek historisnya sementara objek materialnya dapat dikaji dari berbagai ilmu yang lainnya.

Film dengan sinemanya adalah buah dari hasil teknik imajiner, suatu teknik deproblematisasi yang memiliki konsepsi sinematik yang kadang merupakan kebalikan dari prosedur pengetahuan, bahkan beberapa merupakan terobosan otentik ilmiah.

RELASI SENI & PENGETAHUAN DALAM FILM

Keistimewaan seni dalam film adalah ‘untuk membuat kita melihat’, ‘membuat kita mencerapi’, ‘membuat kita merasakan’ sesuatu yang bersinggungan dengan realitas. Merujuk pada sifat interistiknya, seni tidak memberikan suatu pengetahuan dalam pengertian yang terbatas, karenanya seni tidak menggantikan ilmu pengetahuan. Hubungan ini bukanlah sebuah identitas namun sejenis perbedaan.

Adalah sangat penting untuk memaknai secara literal atas kata dari setiap difinisi yang merujuk pada dampak terhadap apa yang disuguhkan oleh seni dan ilmu pengetahuan.

Seni dalam film sesungguhnya merupakan ideologi, yang darinya seni dilahirkan, yang di dalamnya seni berkubang, yang dengannya seni mengambil jarak antara dirinya sendiri sebagai seni dan kepadanya seni merujuk.

Di dalam sebuah karya film, seni membawa serta ideologinya secara alami karena sifat bersatunya yang halus (seamlessness), suatu kesatuan yang harmonis, seolah tanpa ada perbedaan ruang dan waktu/realisme. Kita tidak melihat bagaimana ideologi dapat memproduksi makna – karena dalam film, ideologi menjadi tidak terlihat dan membaur secara alami (inherent). Seni dalam film membuat kita ‘memahami’ (tapi tidak untuk mengetahui) sebuah makna ideologi tertentu yang sedang dipertahankan.

Objek seni dalam film adalah individu sementara objek ilmu pengetahuan dalam film berurusan dengan wilayah realitas yang lebih abstraktif pada pelbagai struktur, dalam oposisinya dengan ‘Ideologi’, ‘pengalaman hidup’ dan ‘individu’.

Perbedaaan yang nyata antara seni dan ilmu pengetahuan terletak pada bentuk khusus yang di dalamnya menyajikan objek yang sama pada kita dengan cara-cara yang sangat berbeda. Seni dalam format ‘melihat’ dan ‘mencerap’ atau ‘merasakan’ (sebuah kesimpulan tanpa ‘premis-premis’), sedangkan ilmu dalam format pengetahuan mengandung kaidah yang ketat melalui konsep-konsep, dari sebuah hipotesis sebagai relasi proporsi sintesis yang merupakan ciri-ciri ilmiah.

Ilmu pengetahuan tidak memiliki keistimewaan seperti halnya seni, tidak ada unsur-unsur ideologis yang membuatnya unggul secara hakekat kebenaran terhadap cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya.

Ilmu film adalah pengetahuan konseptual dari mekanisme-mekanisme kompleks yang salahsatunya menggunakan pengalaman hidup manusia sebagai bahan telaah, namun dalam prosesnya ilmu pengetahuan tidak dapat sepenuhnya menggunakan pengalaman hidup sebagai pembenaran proporsi hipotesisnya, pengalaman hanya sebatas menyangkal dan menguatkan.

Perkembangan ilmu pengetahuan film tidak dapat diukur secara langsung dengan pengalaman. Menurut Popper, Pengalaman tidak membuat kita masuk dalam ranah ilmu pengetahuan, sebaliknya kitalah yang selalu membuat pengalaman.

Industri film Indonesia membutuhkan studi film secara radikal ekstrem untuk menemukan hipotesis-hipotesis dari penerapan teori yang dipakainya, hingga kita dapat menangkap dunia, yang pada saatnya nanti dapat disangkal dengan pengalaman.

Sebuah keniscayaan meski masih jauh jarak yang mesti di tempuh; pengakuan eksistensi dan arti penting seni, tidaklah membuktikan sebuah pengetahuan tentang seni. Para seniman dan pencinta seni secara spontan mengekspresikan diri mereka dalam terminologi ‘penciptaan’ dan sebagainya. Dalam proses penciptaannya, seni dengan aktifitas produksi dari berbagai ‘efek estetis’ juga merupakan refleksi ‘spontanitas ideologis’.

Seperti layaknya semua ilmu pengetahuan yang selalu mensyaratkan suatu keterputusan awal dengan ’spontanitas ideologis’ untuk membuatnya netral dari hal-hal yang bersifat subjektif, agar dapat menyusun batang tubuh konsep-konsep ilmiah sebagai penggantinya.

Sangatlah penting memahami keterputusan ideologi, demi terciptanya suatu karya seni yang transendental. Demi untuk memproduksi ‘efek estetis’ dalam karya seni film atau seni yang lainnya, tidak ada jalan lain dan hanya jalan satu-satunya, kita harus memproduksi ilmu pengetahuan tentang seni film (knowledge of art film).

Mencermati hasil karya seni film di Indonesia, kecenderungan yang sering terjadi dalam sebuah karya film Indonesia, makna ideologis dan motivasi dalam setiap tahapan film cenderung berhenti pada fenomenanya saja, hal ini dikarenakan proses penciptaan karya seni film tersebut masihlah ‘premature’. Pencipta karya film di Indonesia belum sepenuhnya memakai metodologi lanjutan yang didalamnya mengisyaratkan terpenuhinya sebuah keadaan dari sistem keseluruhan ilmu.

Dalam metodologi penciptaan, tahapan fenomena (ide, asumsi, persepsi, feeling, intuisi) ini hanyalah pemunculan awal. Jika sebuah film hanya mempunyai batang tubuh fenomena saja dalam keseluruhan filmnya maka film tersebut akan berhenti pada figurnya saja, teknik wicara yang digunakan masih bersifat idiologis sipembuatnya. Secara diskriptif tahapan fenomena cenderung mengabaikan dimensi universitalitas (kebenaran umum); ia tidak pernah meraih keluar dari batas ruang dan waktu tertentu, serta tidak memiliki lingkup persoalan yang jelas dan soliditas yang pantas dipersoalkan secara general.

Dibutuhkan sebuah tahapan lanjutan untuk dapat menggali lebih dalam objek formal, objek historis, objek materialnya dari sebuah tahapan fenomena agar dapat memberikan tempat bersandar dan bermuaranya setiap makna. Sebuah tahapan yang berisi diskripsi sebuah proses konstruksi fenomena yang didalamnya melibatkan gagasan, makna, ideologi, difinisi, kode-kode sosial dan tafsir (moral, kultural, ekonomis, politis, atau spiritual) dll.

Ketika karya film sudah melewati berbagai tahapan metodologis maka di dalam batang tubuh karya film tersebut terdapat premis-premis realitas, universitalitas (kebenaran umum) melalui berbagai tahapan yang mempunyai kandungan ekselensi nalar yang dibutuhkan dalam tema film tersebut. Kebenaran umum dibutuhkan untuk dapat memungkinkan kita mengenal, menunjuk sesuatu dalam kesamaan dan perbedaan. Tentang teori ilmu pengetahuan dibutuhkan karena fungsinya yang bersifat menggeneralisasi.

Bagan Metodologi Penciptaan :

![Bagan Metodologi Penciptaan.01.04 PM](https://cinemaillusion.files.wordpress.com/2014/10/screen-shot-2014-10-11-at-7-01-04-pm.png?w=300&h=166 =300x166)

Fenomena

  • Ide adalah unsur-unsur struktural dari hal-hal yang bersifat interistik, ekstrinsik dan artifisial dengan mendasari pada kompleksitasnya: modus, substansi dan relasi.
  • Imajinasi adalah mekanisme psikis dalam melihat, melukiskan, membayangkan, atau memvisualkan sesuatu didalam struktur kesadaran, yang menghasilkan sebuah image. Ia bisa berasal dari dalam diri (intuisi) atau diluar dirinya (asumsi & persepsi).
  • Intuisi adalah daya kemampuan untuk memiliki pengetahuan segera dan langsung tanpa menggunakan rasio. Intuisi berpangkal pada konsep ide-bawaan.
  • Persepsi adalah perolehan pengetahuan melalui pancaindera maupun dengan pikiran.
  • Asumsi adalah suatu gagasan, keyakinan yang diterima sebagai kebenaran tanpa bukti yang jelas atau tanpa menyajikan argumen yang mendukung.

Purifikasi

  • Struktural adalah sebuah sudut pandang filsafat, sebuah metodologis ilmiah ini menetapkan riset sebagai tugas menyingkap struktur objek-objek. Strukturalism menggantungkan diri pada apa yang disebut mekanisme terpusat (center) atau asal-usul tetap (fixed origin), yaitu suatu tempat bersandar dan bermuaranya setiap makna. Satuan mekanisme Struktural adalah berisi diskripsi sebuah proses konstruksi sebuah ide yang didalamnya melibatkan gagasan, makna, ideologi, dan kode-kode sosial. Pengetahuan yang digunakan dalam produksi, ketrampilan teknis, ideologi professional, pengetahuan alam, pengetahuan institusional, definisi, dan tafsir (moral, kultural, ekonomis, politis, atau spiritual) dll.
  • Dekonstruksi adalah sebuah kecenderungan berupa gerakan melepaskan diri dari determinasi (penjara) logosentrisme, transendensi, metafisika, dan teologi, dengan membentangkan sebuah ruang bagi kreatifvitas, dinamisitas, dan produktivitas tanda, khususnya produktivitas tafsiran. Fungsi dekonstruksi untuk benar-benar dapat menciptakan dinamika, kreativitas, dan produktivitas tafsiran yang berguna bagi kemajuan, maka perlakuan baru terhadapnya diperlukan. Dekonstruksi harus diikuti dengan rekonstruksi.
  • Rekonstruksi berarti menata kembali struktur-struktur yang telah di dekonstruksi, dalam rangka menciptakan sebuah pusat yang baru, yang bersifat tetap, abadi, transenden, dan metafisis, yang didalamnya bersemayam logos, kebenaran, dan makna akhir baru.

Transendental

  • Transedental adalah gagasan,ide,konsep yang melampaui kategori-kategori, dan mendahului pengalaman apapun. Transendental memiliki ciri-ciri universal. Untuk menuju yang universal dibutuhkan sebuah pijakan teori yang mempunyai fungsi menggeneralisasi.

Sumber :

  • Althusser Louis**,** _Essays on Ideology;_ Verso_,_ London _: 1984._
  • Piliang Yasraf Amir, Posrealitas: Realitas kebudayaan dalam era posmetafisika; Jalasutra,Yogyakarta:2004.
  • Saeng Valentinus, Herbert Marcuse; Gramedia, Jakarta: 2012.
  • Bagus Lorens, Kamus Filsafat; Gramedia, Jakarta: 1996.
  • A.F. Chalmers, What is this thing called Science?; University of Queensland, Queensland:1976.

Artikel sebelumnya

Mengkristal Secara Aktual

Artikel berikutnya

Pancaroba Konstan

comments powered by Disqus