opini

Pancaroba Konstan

27 January, 2020

Seluruh narasi film pada intinya menceritakan tentang manusia dan persoalan hidupnya. Persoalan hidup datang disebabkan oleh konflik-konflik mekanisme psikis sepanjang sejarah hidup seseorang. Para tokoh rekaan di dalam sebuah film menampilkan berbagai watak dan perilaku yang terkait dengan kejiwaan dan pengalaman psikologis atau konflik-konflik psikis sebagaimana yang dialami oleh manusia di dalam menjalani kehidupan realitas. Problem-problem kejiwaan ini dapat berupa konflik, kelainan prilaku, dan bahkan kondisi psikologis yang lebih parah, sehingga mengakibatkan kesulitan dan tragedi. Kesulitan dan tragedi diolah sedemikian rupa sebagai bahan alur cerita yang dramatik dalam sebuah film. Dengan menggunakan pendekatan psikoanalisis di dalam setiap tahapan sebuah film, sineas dapat memberikan kebenaran diegesis yaitu kebenaran dunia fiktif dimana situasi yang diceritakan itu terjadi, sebuah kenyamanan sinematik yang menciptakan naturalism dan pemenuhan logika penontonnya.

Psikoanalisis mendasari teorinya pada penolakan mitos “homo psychologicus” sebagai hal yang esensia. Objek psikoanalisis bersifat spesifik dan modalitas materialnya khusus mengenai berbagai mekanisme psikis, sebuah konsep yang sejajar dengan ketidaksadaran dan efek-efeknya. Psikoanalisis adalah “pisau bedah” yang tepat untuk dapat menggambarkan pembentukan karakter yang disebabkan oleh konflik-konflik psikis serta penyimpangan perilaku seseorang dalam sebuah tema cerita.

Psikoanalisis dalam film, lebih dikarenakan fungsi dan perannya dalam kehidupan. Film dan psikoanalisis dapat bersimbiosis karena keduanya memiliki fungsi yang sama dalam kehidupan ini. Keduanya sama-sama berurusan dengan persoalan manusia sebagai makhluk sosial. Keduanya memanfaatkan landasan yang sama yaitu menjadikan pengalaman manusia sebagai bahan telaah.

Film seperti Inception karya Christopher Nolan, menggunakan teori psikoanalisis tentang tujuh lapis mimpi (sub-conscious) yang dirumuskan oleh Sigmund Freud sebagai ide dasarnya. Film Life of Pi karya Ang Lee yang dilatar-belakangi oleh teori psikoanalisis tentang konflik dan rekonsiliasi tiga kategori psikis manusia (Id, ego, superego) yang mencari hakekat kebenaran lewat konflik narasi besar. Film Avatar karya James Cameron yang mengambil ide dasar dari teori psikoanalisis Lacan tentang tahapan realitas (The Real). Film Gravity karya Alvonso Cuaron yang menceritakan proses kelahiran yang memakai acuan teori psikoanalisis Lacan pada tahapan the Real, serta film-film genre thriller psychological karya Alfred Joseph Hitchcock yang menceritakan berbagai persoalan kehidupan psikis manusia dengan sangat rumit namun tetap dapat memberikan kenikmatan menonton.

Psikoanalisis sebagai sebuah pendekatan strukturalisme yang dibawa oleh Jaques Lacan dan mulai diperjuangkan oleh Christian Mertz pada pertengahan 1960-an untuk dapat diakui dalam disiplin studi sinema pada tahun 1970, selanjutnya berkat jasa para penulis esai dan filsuf yang terjun ke dunia sinema untuk mengaplikasikan teorinya, studi sinema telah mendapatkan pengakuan secara akademis.

Christian Metz adalah seorang ahli semiotika yang pertama kali mencanangkan, dalam esainya Essais sur la signification au cinema (1971, 1972), sebuah pendekatan teori total dalam bentuk grande syntagmatique. Mertz meyakini bahwa sinema memiliki sebuah struktur total. Dengan menggunakan istilah Saussure, dia berpendapat sinema sebagai langue (struktur universal film secara simultan) dan setiap filmnya sebagai parole (manifestasi film terhadap penonton dan kebudayaan yang berbeda-beda).

Film Thriller psychological mendasari konstruksinya pada sadomasokisme, kegilaan dan voyeurisme. Penyimpangan prilaku tokoh rekaan berakar dari fobia yang sering memiliki sebab seksual atau penyimpangan psikis mendasar yang merupakan sebuah entitas yang sangat traumatis: kalaupun temanya fantasi lebih pada telaah untuk mengungkapkan hubungan subjek kearah kenikmatan (jauissance-nya subjek), kearah inti keberadaan dirinya yang traumatis, kearah sesuatu dimana subjek tidak pernah mampu mengakui sepenuhnya, menyatukan ke dalam dunia simbolisnya. Bukan tema fantasi sebagai ruang imaji ideal yang menyimpan realitas yang menghebohkan sebagai landasan telaahnya.

Psikoanalisis sebagai sebuah cara memperluas cakupan ‘teori total’ dalam lingkup teori film. Psikoanalisis film berusaha menjelaskan bagaimana film bekerja di alam bawah sadar. Dengan menciptakan sebuah analogi layar sebagai cermin, mereka menemukan sebuah cara untuk membicarakan hubungan penonton-layar. Pada setiap pertunjukan, ada pergerakan penonton dari keteraturan Imaginary menuju Symbolic, sebuah proses bawah sadar dalam akuisisi perbedaan seksual, bahasa dan subyektifitas. Dengan kata lain, setiap pertunjukan mewakili pengulangan fase cermin dan Oedipal. Sinema berfungsi sebagai cermin (bagi Imaginary) dan sebagai Symbolic (melalui wacana film) secara simultan. Dan penonton berada dalam keadaan pancaroba konstan di antara keduanya (Imaginary dan Symbolic). Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa kedua Keteraturan ini selalu hadir berdampingan dalam hal subyektifitas.

Sinema berfungsi secara simultan bagi Imaginary dan Symbolic, sinema juga menempatkan penonton sebagai subyek karena penonton diposisikan dalam keadaan voyeuristik oleh kamera, maka mereka juga dikaitkan dengan kenikmatan visual. Proyektor berfungsi sebagai mata, dan mata bisa melihat. Jadi kenikmatan visual juga dikaitkan dengan azas penglihatan tak berhukum (tidak dapat ditonton oleh mereka yang di layar, penonton lah yang menyaksikan).

Fetishisme hadir di layar dalam bentuk gambar, fetishisme beroperasi pada level yang lebih mendasar. Gambar sebagai gambar dan teknologi sebagai teknologi, keduanya merupakan fetish, karena mereka hadir sebagai pengganti yang hilang. Dalam hal tersebut, mereka menyangkal apa yang hilang, mereka menyangkal adanya perbedaan. Begitu juga dengan penonton, dalam menonton film, mereka menyangkal kekurangan, perbedaan. Penonton tahu bahwa ada adalah tidak ada, apa yang ada di sana ternyata tidak ada, bahwa apa yang dilihat hilang (absen). Tetapi penonton, kata Metz, menyangkalnya dan teknologi dengan kedok sempurnanya, membantu proses penyangkalan tersebut.

Penelitian hubungan antara sinema dengan voyeursime dan fetishisme serta kaitannya dengan Keteraturan Imaginary dan Simbolik merupakan sumbangsih psikoanalisis terhadap teori film. Sinema dilihat sebagai penampungan hasrat kejiwaan. Layar menjadi tempat kita memproyeksikan fantasi dan hasrat, yaitu, untuk alam bawah sadar kita. Dengan cara ini, kita dapat menganggap bahwa sinema memposisikan penonton sebagai subyek yang berhasrat, sehingga menjadi subyek teknologi.

Sumber :

  • Albertine**;** _Psikologi Sastra_; Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2011.
  • Minderop,Hayward, Susan, Cinema Studies: The Key Concept; New York: Routlegde,2000.
  • Freud Sigmund, Pengantar umum Psikoanalis (A General Introduction to Psychoanalysis). Jakarta: Edisi Indonesia; Pustaka Pelajar, Agustus-2006.
  • li Matius, Psikologi Film: Membaca Film lewat Psikoanalisis Lacan-Zizek. Jakarta: Fakultas Film dan Televisi IKJ;2010.
  • A de Mijolla Alain (editor in chief), International Dictionary of Psycoanalysis.

Artikel berikutnya

Teori Auteur

comments powered by Disqus