teori

Teori Auteur

27 January, 2020

Walaupun auteur adalah istilah yang diciptakan pada tahun 1920an dalam penulisan teori kritikus film Perancis serta sutradara era film bisu, rasanya layak untuk menunjuk bahwa di Jerman, di sekitar tahun 1913, istilah ‘author’s film’ (Autorenfilm) telah diciptakan.

Autorenfilm muncul, sebagai jawaban atas pergerakan Film d’ Art Perancis yang dimulai pada tahun 1908 dan terbukti sangat popular.

Film d’ Art sangat terkenal khususnya dalam menarik penonton kelas menengah ke teater karena adanya rasa kehormatan sebagai art cinema.

Istilah Jerman Autorenfilm juga diasosiasikan dengan isu polemik seputar pertanyaan akan penulis. Dalam hal ini, beberapa penulis naskah layar lebar mengkampanyekan hak mereka akan Autorenfilm. Maksudnya, mereka mengklaim tidak hanya dalam hal naskah, melainkan atas filmnya juga. Singkatnya, suatu film tidak hanya dinilai dari siapa yang menyutradarainya, melainkan juga dari penulis naskahnya.

Di Perancis, konsep auteur (tahun 1920an) datang dari arah lain, bahwa auteur adalah sineas film (film-maker) – tidak peduli siapa yang menulis naskahnya. Sering kali, bahkan, penulis naskah dan sutradara adalah orang yang sama (meskipun tidak selalu), contohnya, Germaine Dulac bekerjasama dengan penulis drama Antonin Artaud untuk menciptakan La Coquille et le clergyman (1927).

Pada masa 1920an, terjadi perdebatan di Perancis mengenai mana yang terpenting dalam sebuah film di antara auteur dan skenario (yaitu, skenario yang dibuat oleh penulis dari suatu studio atau perusahaan produksi dan kemudian disutradarai oleh sineas (sutradara) yang ditunjuk).

Perbedaan ini berakhir pada debat antara high-art/low-art yang berhubungan dengan film yang dimulai sejak 1908 (perdebatan kontroversi antara Film d’ Art dengan sinema popular). Jadi pada tahun 1920an, di dalam domain teori film, auteur-film menjadi sangat bernilai berkat banyaknya adaptasi literatur, sehingga melampaui kesuksesan adaptasi fiksi popular.

Setelah tahun 1950, ditandai dengan kebangkitan esai Alexandre Astruc ‘Naissance d’une nouvelle avant-garde’: la Camera-stylo’ (L’Ecran francais, 1948), debat ini diangkat kembali dan dipopulerkan – dengan hasil dihilangkannya masalah high-art/low-art.

Debat yang diperbaharui ini adalah review film terbaru Cahiers du cinema (diluncurkan tahun 1951) dan esai yang paling terkenal dalam hal ini adalah esai Francois Truffaut tahun 1954 ‘Une certain tendance du cinema’. Walaupun bukan satu-satunya esai yang memperdebatkan masalah auteur, namun esai ini dianggap manifesto bagi French New Wave.
Pada tahun 1950an, Cahiers du cinema (masih eksis hingga saat ini), dipimpin oleh Andre Bazin, seorang kritikus film, dan secara rutin ditulis oleh sekelompok kritikus film, yang dikenal dengan nama kelompok Cahiers.

Kelompok ini tidak mengacu pada pemikiran para ahli teori di tahun 1920; bahkan, mereka cenderung mengabaikan dan melupakannya. Debat terakhir inilah yang akhirnya terbawa sampai ke dalam teori film. Melalui diskusi Cahiers mengenai politique des auteurs (yaitu, debat polemik seputar konsep auteurisme), kelompok tersebut mendapatkan gambaran akan auteur dengan cara menyatukannya dengan konsep mise-en-scene.

Pergeseran makna auteur ini disebabkan oleh besarnya perhatian Cahiers pada sinema Amerika/Hollywood. Selama pendudukan Jerman di Perancis saat Perang Dunia kedua, film-film Amerika diharamkan. Tiba-tiba setelah perang, ratusan film, yang belum pernah ditayangkan sebelumnya, membanjiri bioskop Perancis. Sinema ini, disutradarai oleh sineas semacam Alfred Hitchcock, Howard Hawkes, John Ford dan Samuel Fuller, nampaknya membawa angin segar dan memaksa kelompok Cahiers untuk mulai mempertimbangkan produksi Hollywood.

Mereka menyanggah bahwa hanya karena sutradara Amerika kurang berpengaruh dalam hal proses pemilihan shots, hal ini tidak berarti mereka tidak berhak menyandang status auteur.

Style, seperti halnya dalam mise-en-scene, dapat juga mendemarkasi auteur. Berkat kelompok Cahiers Du Cinema, istilah auteur kini dapat mengacu pada style sutradara melalui penyajian mise-en-scene maupun penyajian visual melalui campur tangan sutradara di segi pembuatan skenario filmnya.

Contoh-contoh auteur kelompok kedua ini (penulis total) adalah Jean Vigo, Jean Renoir, Jean-Luc Godard, Agnes Varda di Perancis, Rainer Werner Fassbinder, Wim Wenders, Margarethe von Trotta di Jerman, Orson Welles dan David Lynch di Amerika Serikat.

Beberapa sineas film tertentu (kebanyakan bentuk auteur mise-en-scene) telah menyandang predikat yang diberikan oleh Cahiers Du Cinema ini walaupun karya-karya mereka sudah ada sebelum diciptakannya istilah tersebut (contohnya Hawkes, Ford, Fuller dan Hitchcock di Amerika).

Politique des auteurs adalah sebuah polemik yang dipelopori oleh kelompok Cahiers tidak hanya membawa sineas perfilman Amerika favorit ke dalam daftar (kelompok auteur kedua) akan tetapi juga menyerang sinema Perancis saat itu yang dianggap kaku dan kuno.

Cahiers menganggap sinema Perancis tersebut le cinema de papa, mereka menuduhnya bergantung pada skenario, penuh dengan psikologi aman (kolot), kurang realisme sosial dan diproduksi oleh penulis skenario kuno dan sineas film yang sudah tidak lagi popular. (Francois Truffaut adalah yang paling disorot dalam kritik ini).

Polemik Oedipal semu ini mengokohkan posisi auteur sebagai seseorang yang romantic sehingga jelas bersikap konservatif terhadap estetika. Dan, karena memanasnya situasi politik Perancis pada tahun 1950an, kelompok auteur ini terbukti bersikap netral dan tidak memihak, atau istilahnya konservatif positioning.

Masalah lainnya dengan polemik ini adalah, dengan mengagungkan auteur, berarti menghapus konteks (yaitu sejarah) sehingga mengesampingkan ideologi. Idealnya, karena suatu film dilihat dari format, style, struktur tematik, struktur bawah sadar (seperti dinamika tak terucap antara sineas film, aktor, tekanan ekonomi yang menghubungkan industri) seharusnya polemik tersebut dihalangi.

Menariknya, dari kedua penulis di Cahiers yang terjun ke film, Godard dan Truffaut, karya Truffaut lah yang dipeti-eskan dalam koridor ideologi romantis Politique des auteurs sedangkan karya Godard lebih banyak mempertanyakan auteurism (selain mempertanyakan hal-hal lainnya).

Politique ini memicu perdebatan panjang yang berakhir pada tahun 1980an, sedangkan auteur adalah sebuah istilah yang masih digunakan hingga saat ini. Orang mungkin bertanya-tanya mengenai mengapa konservatisme tersebut ada.

Jawaban pertamanya adalah, konservatisme membantu memetakan teori film, yang hingga tahun 1950an cenderung didasarkan pada analisis sosiologi.

Jawaban kedua adalah, debat tersebut menjelaskan bahwa segala usaha untuk menghasilkan sebuah teori film tidak akan berhasil karena faktanya film adalah tentang beberapa teori.
Berikut ini adalah sebuah garis besar secara singkat dari perkembangan teori auteur:

Istilah ‘Teori Auteur’ muncul tahun 1960an sebagai sebuah kesalahpahaman (terjemahan) oleh kritikus film Amerika Andrew Sarris. Apa yang dahulu dianggap polemik, kini sudah menjadi teori yang sangat tereksploitasi. Sarris menggunakan auteurisme dalam koridor nasionalisme dan chauvimisme untuk mengangkat derajat sinema Amerika/Hollywood sebagai ‘satu-satunya sinema terbaik’, dengan hanya menyebutkan satu atau dua art film Eropa.

Karena adanya penyalahgunaaan istilah ini, sinema menjadi terbagi ke dalam dua kubu sutradara ‘baik’ dan ‘buruk’ serta lainnya. Hal ini berakibat pada banyaknya masyarakat yang hanya mau mempelajari kelompok yang baik. Untungnya, di tahun 1970an, kesalahan persepsi budaya ini berakhir, sehingga terbentuk keseimbangan dan perkembangan dalam teori film.

Perdebatan di atas tidak hanya berhenti di sini, melainkan berlanjut hingga akhir tahun 1960 sebagai imbas dari strukturalisme. Di Perancis, Cahiers du cinema harus memikirkan dan menyesuaikan pemikiran mereka mengenai auteurisme, dan di Inggris jurnal film Movie, mengembangkan perdebatan tersebut secara signifikan.

Sebagai sebuah konsep, strukturalisme diciptakan di awal abad dua puluh melalui konsep linguistic Ferdinand De Saussure. Namun demikian, jarang ada yang tahu bahwa teori tersebut dipopulerkan oleh filsuf-ahli semiotika Perancis Roland Barthes pada tahun 1950an – terutama melalui esai populernya Mythologies (1957).

Saussure, dalam Cours de linguistique generale, menciptakan suatu paradigma dasar yang membuat semua bahasa dapat dikelompokkan dan dipahami. Paradigma dasar ini, langue dan parole, sedianya diciptakan sebagai suatu fungsi untuk memaknai struktur universal bahasa atau system bahasa (langue) serta manifestasinya dalam berbagai bahasa (parole).

Antropologi strukturalisme Claude Levi-Strauss tahun 1960an (yang menitikberatkan pada mitos Indian Amerika) berlanjut di bahasan yang sama, walaupun kali ini paradigma tersebut diaplikasikan pada struktur naratif.

Menurut tesis Levi-Strauss, karena semua kebudayaan adalah produk otak manusia, seharusnya ada suatu kelengkapan/indicator yang sama pada semua bahasa.

Strukturalisme adalah sebuah pendekatan yang menjadi sangat popular di Perancis pada tahun 1960an. Mengikuti trend yang dipelopori oleh Barthes dan Levi-Strauss, filsuf Marxist Louis Althusser mengadaptasikan strukturalisme dalam diskusi ideologi, sedangkan Jacques Lacan memasukkannya ke dalam tulisan psikoanalisisnya.

Poin fundamental akan popularitas strukturalisme di Perancis adalah sosial politik dan mengacu pada strategi strukturalisme teori total. Popularisme strukturalisme ini bertepatan dengan kembalinya Charles de Gaulle ke tampuk kepresidenan tahun 1958.

Seruannya akan persatuan nasional (dalam menghadapi krisis Algeria), era kemajuan ekonomi dan konsekuensi nasionalisme agar Perancis memiliki identitas nasional. Jadi, keinginan akan struktur total, seperti yang dicontohkan oleh strukturalisme, dapat dimaknai sebagai suatu keinginan untuk melawan ketidakstabilan politik di tahun 1960an.

Perlu juga diingat bahwa ‘pemikiran ulang’ teori film di tahun 1960an tidak berasal dari kritik film (seperti halnya pada tahun 1950an) melainkan melalui disiplin ilmu lain yaitu linguistik dan semiotik struktural.

Pola ini terulang kembali di tahun 1970an dengan masuknya psikoanalisis dan psikologi ke dalam perdebatan, lalu disusul dengan sejarah di tahun 1980an.

Signifikansi banyaknya para penulis esai dan filsuf yang terjun ke dunia sinema untuk mengaplikasikan teorinya tidak bisa dianggap remeh. Berkat jasa-jasa mereka, studi sinema telah mendapatkan pengakuan secara akademis.

Strukturalisme berkaitan erat dengan auteurisme karena melalui pendekatan ilmiahnya, strukturalisme dapat memfasilitasi obyektifitas konsep dan mengesampingkan subyektifitas dari teori auteurisme romantisme.

Terlebih lagi, selain potensinya dalam memberikan pengakuan ilmiah terhadap auteurisme, keunggulan strukturalisme dalam teori film terletak pada strateginya dalam mempertahankan keutuhan struktur total.

Keinginan akan keteraturan dalam teori film ini adalah perjuangan Christian Mertz (pertengahan 1960an) demi untuk memasukkan sinema ke dalam semilogi aliran Saussure. Metz, seorang ahli semiotika, adalah yang pertama kali mencanangkan, dalam esainya Essais sur la signification au cinema (1971, 1972), sebuah pendekatan teori total dalam bentuk grande syntagmatique-nya. Mertz meyakini bahwa sinema memiliki sebuah struktur total.

Dengan menggunakan istilah Saussure, dia menganggap sinema sebagai langue dan setiap filmnya sebagai parole. Hasratnya – mengungkap aturan-aturan yang berkaitan dengan bahasa film serta mencanangkan suatu kerangka kerja bagi semiotika sinema – mengacu pada suatu batasan fundamental dengan pendekatan total lengkap: yaitu dengan teori yang mengambilalih teks dan mengesampingkan aspek-aspek lainnya dalam teks.

Aspak-aspek yang dihilangkan ini adalah rasa kenikmatan serta penerimaan pemirsa, dan sebagai gantinya adalah sebuah pengalaman estetika yang dimunculkan melalui kerangka kerja teoritikal.

Hal ini bukan berarti strukturalisme tidak mempelopori debat teori film dan auteurisme karena sebenarnya dia memiliki andil. Auteur-strukturalisme membawa perubahan positif yang besar bagi teori auteur (a la sarris).

Jurnal film Inggris Movie menunjuk hal estetika romantisme yang berhubungan dengan film sebagai suatu masalah, namun demikian, mereka juga memiliki jalan keluarnya. Dengan memposisikan auteur sebagai sebuah struktur di antara struktur lainnya – seperti konsep genre dan industri film – memproduksi makna, teori tersebut akan bersifat lebih fleksibel.

Cahiers du cinema juga bersikap kritis terhadap konsep romantisme auteurisme karena auteur bukanlah sesuatu yang bersifat kreatif, bersatu dan bebas sebagaimana teks yang sifatnya seperti ‘sebuah permainan ketegangan, sunyi dan represi’ (Caughie, 1981, 128). Jadi, auteur digeser dari pusat konsep dan kini menyatu dengan struktur lainnya yang membentuk naskah film.

Pergeseran konsep ini menyebabkan struktur-struktur lainnya bermunculan, misalnya, struktur linguistik, sosial dan institusional serta hubungan auteur dengan kesemua struktur tersebut.

Dan walaupun pada akhir tahun 1960an kecenderungan yang ada tetap berupa anggapan bahwa struktur auteur adalah struktur yang terbesar, masyarakat juga mengenal studio dan bintang – di antara lainnya – merupakan kontributor terbesar dalam produksi makna film. Faktor yang masih absen dari perdebatan adalah penonton/pemirsa – pertanyaan seputar kenikmatan dan ideologi.

Pasca 1968 Cahiers membuat usaha pertama untuk memperkenalkan ideologi ke dalam perdebatan mengenai eksplorasi film-film Hollywood yang ‘menolak’ atau merefleksikan ideologi dominan. (Dalam sebuah film yang berjudul ‘the Young Mr. Lincoln Debate’, kelompok Cahiers mengklaim bahwa film ini memediasi nilai-nilai partai Republik untuk melawan nilai-nilai partai Perjanjian Baru Demokrat Roosevelt tahun 1933-1941 dan untuk mempromosikan kemenangan partai Republik pada pemilihan presiden 1940).

Diskusi Althusser dalam ideologi, khususnya konsep interpelasi (pertimbangan layak atau tidaknya sebuah Undang Undang atau Peraturan Pemerintah), membuat kelompok Cahiers dan Jurnal Inggris Screen untuk mulai memperkenalkan hubungan layar-penonton.

Pada persimpangan ini, kedua jurnal menerima apa yang kemudian dianggap menjadi suatu analisis anti humanis dari positioning penonton.

Menurut Althusser, ideological state apparatuses (perangkat keadaan ideal; family, agama, pendidikan dsb) mempertanyakan individu sebagai subyek: yaitu, sebagai struktur yang telah ada terlebih dahulu, ISA berfungsi untuk membentuk individu menjadi subyek ideologi. ISA memanifestasikan dirinya sebagai institusi negara: polisi, pemerintah, monarki adalah ISA.

Sebagai ilustrasi, Inggris adalah sebuah monarki. Para individunya, jadi adalah efek ISA, bukan agen. Sebagai efek-subyek, individu memberikan makna pada ideologi dengan cara berlaku menurut tata tertib. Proses serupa muncul, yang memberikan identitas nasional pada individu.

Bila diaplikasikan ke dalam film, hal ini berarti, sinema, dalam hal produsen makna, memposisikan penonton sebagai efek-subyek yang menterjemahkan apa yang dilihat di layar sehingga makna tersebut diterima oleh subyek.

Imbas post-strukturalisme, psikoanalisis, feminisme dan dekonstruksi akhirnya menjelaskan bahwa teori tunggal tidak mencukupi dan apa yang dibutuhkan adalah pluralisme teori yang saling melengkapi satu sama lain.

Post strukturalisme, yang maknanya tidak dapat didefinisikan secara tepat, dapat dikatakan kembali mengelompok dan, dalam hal tertentu, saling melengkapi ketiga pendekatan teoritis lainnya (psikoanalisis, feminisme dan dekonstruksi).

Seperti yang dijelaskan namanya, post-strukturalisme terlahir karena adanya ketidakpercayaan akan teori total, dan hal tersebut dimulai dari posisi bahwa semua naskah/teks adalah artikulasi ganda dari wacana dan non-wacana (yaitu, yang terucap dan tidak terucap, le dit et le non-dit).

Dalam istilah teori auteur, efeknya berlipat: intervensi semiotika dan psikoanalisis ‘menghancurkan’ ‘kesatuan auteur’ selamanya. Karena post-strukturalisme melihat semua wacana relevan (terucap maupun tidak) yang ada di sekeliling naskah, banyak lagi area produksi makna yang dapat diidentifikasikan.

Jadi, semiotika memperkenalkan teori mengenai subyek tekstual: yaitu, posisi subyek di dalam proses tekstual, termasuk posisi mereka sebagai penonton dan auteur, semua yang menghasilkan makna.

Lebih lagi, semiotik juga menjelaskan bahwa naskah merupakan sebuah rangkaian tanda yang menghasilkan makna.
Setelah menentukan posisi auteur di dalam proses tekstual, kini teori auteur dapat diposisikan di dalam suatu teori tekstualitas.

Dikarenakan tidak ada yang namanya naskah ‘murni’, intertextuality (efek naskah yang berbeda dari naskah lainnya) dari naskah film manapun harus menjadi pertimbangan besar, termasuk intertekstualitas auteur.

Maksudnya adalah, auteur merupakan suatu bentuk yang diciptakan dari film sineas tertentu: karena ciri khas x, film tersebut identik dengan sineas tertentu dan juga karena ada pengaruh dari sineas lainnya, dsb.

Psikoanalisis memperkenalkan teori seksual, spekular, subyek terbelah (terbelah oleh fakta adanya perbedaan, kehilangan dan perpisahan dengan ibu (lihat psikoanalisa)).

Pertanyaan-pertanyaan akan subyek mulai bermunculan: siapakah subyeknya (naskah, auteur, penonton)? Apakah efek yang diperoleh dari dialog naskah (film sebagai sebuah pertunjukan) pada penonton dan pemaknaan mereka terhadap naskah film tersebut.

Apakah efek ideologis dua arah (film terhadap penonton serta sebaliknya) serta kenikmatan yang diperoleh penonton saat mereka memahami jalannya cerita?.

Bila kita membahas suatu naskah juga berarti bahwa kita juga membahas konteks dalam hal produksi makna: cara produksi, konteks sosial, politik dan sejarah. Akhirnya, kita tidak dapat membahas suatu naskah secara transparan, alami dan polos: oleh karena itu, kita harus mendekonstruksikan serta membedahnya supaya mudah dipahami.

Sumber :

  1. Caughie John; Editor in Chief – Theories of Authorship;Psychology Press, 1981
  2. Althusser Louis, Essays on Ideology; verso, London : 1984.
  3. Piliang Yasraf Amir, Posrealitas: Realitas kebudayaan dalam era posmetafisika;Jalasutra,Yogyakarta:2004.
  4. Saeng Valentinus; Herbert Marcuse; Gramedia,Jakarta: 2012. 5). Bagus Lorens; Kamus Filsafat; Gramedia, Jakarta:1996.
  5. A.F. Chalmers, What is this thing called Science?; University of Queensland, Queensland:1976

Artikel sebelumnya

Pancaroba Konstan

comments powered by Disqus